Minggu, 11 November 2012

Busuk Pangkal Batang Kelapa Sawit

1. Biologi

Penyakit ini memiliki banyak nama di seluruh dunia, tetapi selalu menjadi penyakit yang mematikan pada kelapa sawit. Busuk pangkal batang kelapa sawit disebabkan oleh jamur Ganoderma. Jamur Ganoderma lebih dikenal sebagai obat herbal di China, Korea dan Jepang. Ganoderma tergolong dalam kelas Basidiomycetes, penyebab utama penyakit akar putih pada tanaman berkayu dengan menguraikan lignin yang mengandung selulosa dan polisakarida. Ganoderma dapat tumbuh dengan baik pada media buatan dengan memproduksi organ somatif. Pengisolasiannya dapat dilakukan dengan menanam jaringan sakit atau bagian dari jaringan korteks basidiokarp. Ganoderma yang ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dapat tumbuh lebih baik daripada yang ditumbuhkan di media MA (Malt Agar), MEA (Malt Extract Agar), CMA (Corn Meal Agar), dan CDA (Czapek’s Dox Agar). Media LBA (Lima Bean Agar) lebih baik dibandingkan RDA (Rice Dextrose Agar), sama dengan PDA.

Gambar 1. Tubuh buah Ganoderma boninense

Basidiospora akan berkecambah 30 jam setelah dipindahkan dari permukaan tubuh buah dengan tingkat germinasi sekitar 31.5 – 64%. Ganiderma boninense dapat tumbuh lebih baik jika pada media ditambahkan sumber karbon seperti dekstrosa, fruktosa, galaktosa, sakarosa, maltose, laktosa dan selulosa. Pertumbuhannya juga dipengaruhi dengan sumber nitrogen yang digunakan. Setiap isolat memberikan respon yang berbeda terhadap perbedaan sumber nitrogen diantaranya NaNO2, NaNO3, NH4NO3, (NH4)2HPO4, asparagin, glisin, dan pepton. Suplemen biotin dapat meningkatkan perkecambahan basidiospora. Miselia G. boninense dapat tumbuh dan membentuk basidiokarp pada media serbuk batang kelapa sawit, serbuk batang kelapa sawit + biotin, potongan akar kelapa sawit, dan potongan akar kelapa sawit + biotin. Bakal basidiokarp mulai terbentuk 30 hari setelah inokulasi, dan tumbuh sempurna setelah 90 hari.

Di Indonesia, Ganoderma boninense dapat tumbuh pada pH 3-8.5 dengan temperature optimal 30oC dan terganggu pertumbuhannya pada suhu 15oC dan 35oC, dan tidak dapat tumbuh pada suhu 40oC (Abadi dan Dharmaputra, 1988; Dharmaputra et al., 1993). Penyebab busuk pangkal batang pada kelapa sawit berbeda di tiap negara. Di Afrika Selatan, busuk pangkal batang disebabkan oleh G. lucidum Karst. sedangkan di Nigeria disebabkan oleh G. zonatum, G. encidum, G. colossus, dan G. applanatum. Di Malaysia, 4 spesies teridentifikasi sebagai penyebab busuk pangkal batang yaitu G. boninense, G. miniatocinctum, G. zonatum dan G. tornatum. Jamur yang paling sering ditemukan umumnya ialah G. boninense, sementara G. tornatum hanya ditemukan tumbuh di pedalaman dan dataran tinggi dengan curah hujan tinggi. Di Indonesia, G. boninense teridentifikasi sebagai spesies yang paling umum menyerang (Abadi, 1987; Utomo, 2002).

Jamur Ganoderma tergolong ke dalam kelas basidiomycetes. Famili ganodermataceae telah dikenal luas sebagai patogen di banyak tanaman termasuk kelapa sawit. Jamur lignolitik umumnya termasuk dalam jamur busuk putih yang digolongkan ke dalam basidiomycetes. Karena itulah, jamur ini lebih aktif menghancurkan lignin dibandingkan golongan lainnya. Komponen pembentuk dinding sel tanaman adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Dengan demikian, untuk menyerang tanaman, jamur harus menghancurkan ketiga komponen tersebut dengan enzim ligninase peroxidase, selulose dan hemiselulose. Beberapa spesies Ganoderma memproduksi enzim amylase, ekstraseluler, oksidase, invertase, koagulase, protease, renetase, pektinase, dan selulose. Berdasarkan mekanisme infeksi, Ganoderma diklasifikasikan kedalam jamur busuk putih. Jamur busuk putih ini diklasifikasikan berdasarkan kecepatan dan produksi dari enzim lignolitik (Ward et al., 2004).

G. lucidum memproduksi manganese peroksidase (MnP), dan lakase; sama dengan enzim dari G. boninense yang menyerang kelapa sawit tetapi masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Corley dan Tinker, 2003). Jamur busuk putih memproduksi sistem lignolitik yang tidak spesifik terdiri dari peroksidase dan lakase (phenol oksidase: LAC), yang melakukan proses oksidasi (Peterson, 2007). Tiga peroksidase telah diobservasi yaitu: LIP, MnP dan versatile peroksidase (VP). Biodegradasi dari komponen selulosa tidak berbeda nyata untuk dibandingkan dengan yang dibentuk oleh b-1,4-glucosidic, ikatan sederhana dari glukosa. Miller et al. (2000) mengemukakan bahwa Ganoderma merupakan ‘saprobic’ dan hanya menyerang tanaman inang yang lemah, sehingga dikategorikan sebagai parasit atau patogen sekunder. Penjelasan lain dari jamur ialah sebagai saprofit fakultatif. Ganoderma juga hidup sebagai endofit dalam kelapa (Abdullah, 2000).

Gejala Penyakit

Akumulasi daun tombak dan pengeringan pelepah

Gejala awal penyakit sulit diidentifikasi dikarenakan perkembangannya yang lambat dan dikarenakan gejala eksternal berbeda dengan gejala internal. Sangat mudah untuk mengidentifikasi gejala di tanaman dewasa atau saat telah membentuk tubuh buah, konsekuensinya, penyakit jadi lebih sulit dikendalikan. Gejala utama BSR adalah terhambatnya pertumbuhan, warna daun menjadi hijau pucat dan busuk pada batang tanaman (Gambar 2 dan 3). Pada tanaman belum menghasilkan, gejala awal ditandai dengan penguningan tanaman atau daun terbawah diikuti dengan nekrosis yang menyebar ke seluruh daun. Pada tanaman dewasa, semua pelepah menjadi pucat, semua daun dan pelepah mengering, daun tombak tidak membuka (terjadinya akumulasi daun tombak) dan suatu saat tanaman akan mati (Purba, 1993).

Gambar 3. Tanaman kelapa sawit yang tumbang karena Ganoderma

Gejala ditandai dengan mati dan mengeringnya tanaman dapat terjadi bersamaan dengan adanya serangan rayap. Dapat diasumsikan jika gejala pada daun terlihat, maka setengah batang kelapa sawit telah hancur oleh Ganoderma. Pada tanaman belum menghasilkan, saat gejala muncul, tanaman akan mati setelah 7 sampai 12 bulan, sementara tanaman dewasa akan mati setelah 2 tahun. Saat gejala tajuk muncul, biasanya setengah dari jaringan didalam pangkal batang sudah mati oleh Ganoderma. Sebagai tambahan, gejala internal yang ditandai dengan busuk pangkal batang muncul. Dalam jaringan yang busuk, luka terlihat dari area berwarna coklat muda diikuti dengan area gelap seperti bayangan pita, yang umumnya disebut zona reaksi resin (Semangun, 1990).

Secara mikroskopik, gejala internal dari akar yang terserang Ganoderma sama dengan batang yang terinfeksi. Jaringan korteks dari akar yang terinfeksi berubah menjadi coklat sampai putih. Pada serangan lanjutan, jaringan korteks menjadi rapuh dan mudah hancur. Jaringan stele akar terinfeksi menjadi hitam pada serangan berat (Rahayu, 1986). Hifa umumnya berada pada jaringan korteks, endodermis, perisel, xilem dan floem. Klamidospora sering dibentuk untuk bertahan hidup pada kondisi ekstrim. Tanda lain dari penyakit ialah munculnya tubuh buah atau basidiokarp pada pangkal batang kelapa sawit (Gambar 4).

Gejala penyakit Ganoderma di lahan gambut memiliki perbedaan dengan di lahan mineral. Perbedaan ekologi antara tanah gambut dengan tanah mineral, keistimewaan dan karakteristik lahan menentukan perbedaan keistimewaan, karakteristik dan mekanisme persebaran Ganoderma. Tingginya kemunculan penyakit Ganoderma pada lahan gambut kemungkinan besar disebabkan oleh basidiospora sebagai agen penyebar, dan lahan gambut umumnya cocok untuk perkembangan Ganoderma. Pola kemunculan gejala pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut juga berbeda. Gejala serangan buruk batang atas lebih sering terjadi, bahkan sampai lebih dari 63%. Fakta ini terlihat dari sampel yang diambil dari Labuhan Batu, dengan perbandingan BSR:USR sebesar 37%:63% (Susanto et al., 2008). Perbandingan busuk pangkal batang dan busuk batang atas sangat berhubungan dengan jenis lahan gambut dan tergenang atau tidaknya dalam satu tahun. Saat tanah gambut mulai mendekati tanah mineral, busuk pangkal batang akan meningkat, sebaliknya busuk batang atas akan menurun. Lahan tergenang akan menyebabkan Ganoderma mati dan memperkuat mekanisme busuk batang atas. Pola penyebaran basidiospora melalui udara membuat busuk batang atas sebagai gejala penyakit Ganoderma.

Arti Ekonomi

Penyakit busuk pangkal batang adalah penyakit penting yang menyebabkan kerugian besar di perkebunan kelapa sawit (Semangun, 1990; Treu, 1998), terutama di Indonesia dan Malaysia (Turner, 1981; Darmono, 1998b). Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini telah menyebabkan kematian tanaman sampai lebih dari 80% dari seluruh populasi kelapa sawit, dan menyebabkan penurunan produk kelapa sawit per unit area (Susanto, 2002; Susanto et al., 2002b). Dahulu G. boninense dipercaya hanya menyerang tanaman tua, namun demikian, saat ini telah dipahami bahwa patogen ini juga menyerang tanaman tanaman belum menghasilkan (< 1 tahun). Gejala penyakit muncul lebih cepat dan lebih berat pada generasi ketiga dan keempat (Gambar 6). Insiden penyakit di tanaman belum menghasilkan pada generasi pertama, kedua, ketiga dan keempat berturut-turut adalah 0, 4, 7 dan 11%. Sedangkan insiden penyakit di tanaman menghasilkan pada generasi pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut adalah 17, 18 dan 75% (Susanto et al., 2002a). Tingginya insiden penyakit menyebabkan banyak pekebun lebih cepat melakukan tanam ulang walaupun tanaman masih berusia 17 tahun (tanaman sehat sebenarnya masih produktif hingga berusia 25-30 tahun).

Kerugian yang disebabkan oleh Ganoderma dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung berupa rendahnya produksi sampai kematian tanaman, sedangkan kerugian tidak langsung berupa penurunan bobot batang terhadap tandan kelapa sawit. Tanaman terserang Ganoderma akan menderita akibat menurunnya bobot batang sehingga tanaman akhirnya tidak mampu memproduksi tandan. Untuk membantu menggambarkan kerugian yang disebabkan penyakit ini, pada perkebunan seluas 200.000 hektar yang memasuki generasi penanaman ke tiga dan ke empat, 1000 tanaman mati atau sekitar 6 hektar tidak menghasilkan. Kerugian akan semakin besar tahun demi tahun secara akumulasi. Sebagai contoh, saat tahun pertama terserang 6 hektar; tahun kedua terserang 12 hektar; dan seterusnya. Karena itu, potensi kerugian meningkat seiring semakin tuanya tanaman, dan semakin produktifnya tanaman.

Saat ini, pertumbuhan penyakit Ganoderma di perkebunan kelapa sawit terutama dipicu oleh generasi perkebunan. Semakin tinggi generasi perkebunan, semakin parah serangan penyakit hingga menyerang tanaman belum menghasilkan. Pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, perkembangan infeksi Ganoderma cenderung meningkat (Tabel 1), yang disebabkan oleh mekanisme pemencaran melalui basidiospora.

Spesies Ganoderma yang bersifat patogenik pada kelapa sawit memiliki kisaran inang yang luas. Pada habitat alaminya di hutan, jamur ini dapat menyerang tanaman berkayu. Selain menyerang E. guineensis dan Albizia sp., G. boninense dapat menyerang anggota palem-paleman seperti Cocos nucifera, Livistona subglobosa, Casuarina tolurosa, dan Areca spp (Gambar 8). Di daerah pesisir, dua spesies palem-paleman, dikenal dengan nibung (Oncosperma filamentosa) dan serdang (Livistona cochichinensis), juga terserang penyakit. Telah dilaporkan juga bahwa G. boninense dapat menyerang Acacia mangium. Berdasarkan pengamatan, jamur ini juga dapat tumbuh pada tunggul tanaman karet dan kakao.

Penyakit busuk pangkal batang terutama menyebar melalui kontak akar dari tanaman sehat dengan sumber inokulum yang dapat berupa akar atau batang sakit. Selain batang kelapa sawit, akar yang terinfeksi merupakan inokulum utama penyakit Ganoderma pada kelapa sawit (Hasan, 2005). Mekanisme ini didukung oleh pola persebaran penyakit yang mengelompok. Tanaman sakit biasanya dikelilingi oleh tanaman sakit dengan gejala lebih ringan. Banyak sekali kelapa sawit yang mati akibat busuk pangkal batang ketika sistem under planting digunakan. Di sisi lain, basidiospora juga telah dinyatakan memainkan peranan penting dalam menyebarkan penyakit (Sanderson et al., 2000; Pilotti et al., 2003; Sanderson, 2005). Basidiospora tidak selalu membentuk miselium sekunder dan tubuh buah karena memerlukan tipe perkawinan yang sama.                 Percobaan kesesuaian vetetatif dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat menunjukkan bahwa Ganoderma pada area tertentu memiliki perbedaan tipe perkawinan (Pilotti et al., 2003). Begitu juga dengan agen pembeda molekuler (PCR). Jika disebabkan oleh kontak akar, Ganoderma yang tumbuh pada tanaman yang berdekatan seharusnya memiliki tipe yang sama. Basidiospora dibebaskan dan menyebar secara besar-besaran pada pukul 22.00-06.00, dan lebih sedikit pada pukul 12.00-16.00. Pemencaran ini juga dibantu oleh kumbang Oryctes rhinoceros yang larvanya umum ditemukan pada batang kelapa sawit yang busuk. S. nigrescens memainkan peranan paling penting dalam membantu penyebarannya di Indonesia.

Perkebunan yang banyak tunggul tanaman karet, kelapa sawit, kakao atau tanaman hutan lainnya rawan terhadap penyakit ini. Tunggul dapat menjadi sumber inokulum Ganoderma yang potensial. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk memindahkan tunggul seluruhnya pada saat melakukan tanam ulang. Lahan budidaya sebelum tanam ulang juga mempengaruhi penyakit ini. Semakin tua tanaman, semakin besar kerusakan yang disebabkan oleh penyakit ini. Kerugian yang meningkat berhubungan dengan peningkatan siklus penanaman di perkebunan, yang menunjukkan bahwa substrat semakin melimpah atau populasi inokulum semakin banyak. Lokasi perkebunan tidak terlalu penting karena penyakit ini dapat ditemukan pada daerah pesisir dan pedalaman. Ganoderma  dapat menyerang tanaman di seluruh tipe tanah seperti podsolik, hidromorfik, alluvial, dan gambut. Luka dapat disebabkan oleh beberapa faktor biologi seperti gigitan tikus, tupai, babi hutan dan serangga. Faktor kedua adalah luka mekanik yang disebabkan oleh parang, cangkul atau alat berat.

Tindakan Pengendalian

1. Teknik Budidaya dan Mekanis

Untuk menurunkan serangan Ganoderma, pangkal batang kelapa sawit perlu ditimbun dengan tanah. Hal ini untuk mencegah infestasi basidiospora ke batang kelapa sawit. Penggalian tanah disekeliling tanaman terinfeksi dapat megurangi terjadinya kontak akar antara tanaman sakit dengan tanaman sehat. Penimbunan dapat memperpanjang usia produksi sampai lebih dari 2 tahun (Ho dan Hashim, 1997). Pendekatan ini dapat menemui kegagalan dikarenakan letak akar terinfeksi tidak diketahui. Pengurangan jumlah sumber inokulum di perkebunan dilakukan dengan mengoleksi dan membakar tubuh buah Ganoderma. Sebelum penanaman tanaman baru, batang kelapa sawit lama dihancurkan secara mekanis ataupun secara kimiawi (Chung et al., 1991).

2. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian kimiawi telah dilakukan di perkebunan kelapa sawit dengan metode adsorpsi atau penyiraman tanah. Berdasarkan hasil di laboratorium, hampi semua fungisida dapat menekan G. boninense, tetapi tidak pada aplikasi lapangan. Fungisida golongan triazole yang meliputi triadimenol, triadimefon dan tridemorph efektif dalam menekan pertumbuhan miselia G. boninense pada konsentrasi 5, 10 dan 25 g/ml. Fungisida hexaconazol dengan aplikasi bertekanan tinggi tidak dapat mengendalikan pertumbuhan Ganoderma. Hasil pemeriksaan membuktikan bahwa fungisida hanya efektif untuk menunda serangan Ganoderma, tetapi kemampuannya untuk mengatasi permasalahan penyakit ini di perkebunan kelapa sawit masih harus diteliti.

3. Pengendalian Hayati

Turner (1981) menyatakan bahwa Trichoderma sp., Pennicilium sp., dan Gliocladium sp. bersifat antagonis terhadap Ganoderma dan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai agen pengendali hayati. Keefektifan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam menekan pertumbuhan beberapa penyakit tanaman telah dilaporkan, terutama untuk patogen tular tanah. Trichoderma spp. telah banyak digunakan sebagai agen pengendali hayati untuk penyakit layu Fusarium oxysporum pada tomat, melon dan kapas. Selain itu juga digunakan untuk mengendalikan Rhizoctonia solani, Phytium ultimum, Sclerotium rolfsii, Verticillium dahlia, Altenaria, dan Armillaria mellea. Gliocladium sp. sebagai agen pengendali hayati telah digunakan untuk menekan pertumbuhan R. solani, Sclerotinia sclerotiorum, dan S. rolfsii (Campbell, 1989; Papavizas, 1992).

Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. diuji secara in-vitro dan in-vivo pada batang kelapa sawit untuk menekan pertumbuhan G. boninense. Kedua agen hayati memiliki potensi yang bagus dalam pengendalian G. boninense (Abadi, 1987; Dharmaputra 1989; Hadiwiyoni et al., 1997; Abdullah dan Ilias, 2004). Di Indonesia, kelapa sawit memiliki kadar oksigen yang rendah pada akar yang menyebabkan penggunaan Trichoderma menjadi kurang efektif (Widyastuti, 2006). Meskipun demikian, Soepena et al. (2000) berhasil memformulasikan fungisida hayati menggunakan Trichoderma koningii untuk mengendalikan BSR pada kelapa sawit. Akhir-akhir ini, Trichoderma telah digunakan untuk mengendalikan Ganoderma di lapangan walaupun hasilnya belum konsisten (Susanto et al., 2005).

Pengendalian Penyakit Terpadu

Sistem lubang dalam lubang (sistem menggali lubang di dalam lubang [panjang 3.0m x lebar 3.0m x dalam 0.8m] dengan lubang tanam standard [0.6m x 0.6m x 0.6m] didalamnya (Gambar 10)) ditambah aplikasi Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati (400g per lubang) dan aplikasi tandan kosong (400kg per lubang per tahun) dapat digunakan sebagai tindakan pengendalian untuk mengurangi tingkat infeksi Ganoderma (Susanto, 2002). Hal ini dikarenakan sumber inokulum berupa akar sakit telah dipindahkan karena pada dasarnya akar tanaman kelapa sawit hanya tumbuh sampai kedalaman 80cm, dan sisa dari penyakit BSR pada lubang tanam akan dihancurkan oleh agen pengendali hayati Trichoderma spp. Sistem ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kontak akar. Bagaimanapun juga, sumber infeksi potensial masih dapat ditemukan dari tanaman hidup yang berupa jaringan akar, bonggol dan batang (Flood et al., 2000).

Penanaman ulang dengan sistem lubang dalam lubang bertujuan untuk meningkatkan hasil kelapa sawit di tanah mineral yang kurang nutrisi dan bercurah hujan rendah atau karena lahan tersebut telah terexploitasi. Martoyo et al. (1996) melaporkan bahwa penggunaan sistem ini mampu memberikan peningkatan produktivitas yang nyata.

Insiden penyakit BSR pada sistem lubang dalam lubang lebih rendah (Tabel 3) dibandingkan sistem tanam dengan lubang standard (0.73%, 2003; 0.73%, 2004; dan 1.37%, 2005) pada usia tanaman 10 tahun. Pada pengamatan tahun 2003, insiden penyakit BSR mencapai 0.29%. Pengamatan di tahun 2004 dan 2005 juga menunjukkan nilai yang sama dengan pengamatan di tahun 2003. Insiden penyakit mencapai 0.29% dan 0.86% berturut-turut (Susanto et al., 2006). Di lokasi penanaman lain juga menunjukkan hasil yang sama (Prasetyo et al., 2008).

Sumber : Klinik Sawit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar